Pendidikan bukan hanya tentang
mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk manusia berkarakter. Namun, di
Indonesia, banyak guru terjebak dalam peran sebagai "pengajar" yang
fokus pada target kurikulum, mengabaikan pendidikan karakter—mirip dengan Kaum
Sofis di Yunani kuno yang mengutamakan retorika pragmatis ketimbang kebenaran
universal . Data Ramadhani et al. (2024) menunjukkan bahwa pendidikan karakter
efektif hanya ketika guru, keluarga, dan masyarakat berkolaborasi. Sayangnya,
65% guru Indonesia justru menghabiskan waktu untuk tugas administratif, bukan
interaksi bermakna dengan siswa .
Konsep Socrates tentang dialektika—dialog kritis untuk mencari kebenaran—seharusnya menjadi dasar pendidikan. Namun, sistem pendidikan kita lebih mirip praktik Sofisme: guru "ngoceh" di depan kelas tanpa melibatkan siswa dalam refleksi nilai. Padahal, penelitian Pattiasina et al. (2024) membuktikan bahwa komunikasi inklusif dan kolaboratif adalah kunci menciptakan lingkungan belajar yang memberdayakan karakter.
Apa yang Salah?
1. Pendidikan Karakter
yang Terfragmentasi
Ramadhani et al. (2024) menemukan
bahwa guru yang terlatih dalam pendidikan karakter berperan sebagai teladan
nilai moral. Namun, di Indonesia, hanya 15% guru yang pernah mengikuti
pelatihan serupa (Kemendikbud, 2023). Akibatnya, siswa kehilangan sosok panutan
untuk internalisasi nilai kejujuran dan tanggung jawab. Guru terjebak dalam
paradigma Sofis: mengajar untuk memenuhi target, bukan membangun etika.
2. Kurikulum yang Tidak
Responsif
Kurikulum Indonesia terlalu kognitif, mengabaikan aspek afektif. Studi Jeynes (2019) menunjukkan bahwa tekanan akademik berkorelasi negatif dengan pembentukan karakter (r = -0.34, p < 0.05). Padahal, Ramadhani et al. (2024) menegaskan bahwa lingkungan sekolah harus aman dan mendukung untuk menumbuhkan etika. Sayangnya, 72% siswa merasa sekolah hanya fokus pada hafalan, bukan dialog kritis.
3. Komunikasi yang Tidak
Inklusif
Pattiasina et al. (2024)
menekankan bahwa komunikasi efektif dalam pendidikan harus melibatkan empati
dan interaksi langsung. Namun, guru Indonesia sering kali gagal membangun
dialog karena beban mengajar 40 siswa per kelas (Kemendikbud, 2023). Teknologi
seperti platform pembelajaran interaktif seharusnya menjadi solusi, tetapi
hanya 30% sekolah di daerah terpencil yang memilikinya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Bagaimana memastikan pendidikan
karakter tidak hanya menjadi "label" kurikulum, tetapi praktik nyata?
Apakah teknologi komunikasi dapat menjadi jembatan mengatasi kesenjangan
kualitas guru? Bagaimana membangun kolaborasi sekolah-keluarga-masyarakat untuk
memperkuat karakter siswa?
1. Integrasi Pendidikan
Karakter melalui Pelatihan Guru
Ramadhani et al. (2024)
menyarankan pelatihan guru berbasis kasus etika, seperti simulasi konflik moral
di kelas. Contoh: Guru dilatih memfasilitasi diskusi tentang plagiarisme dengan
metode dialektika Sokratik, di mana siswa diajak berpikir kritis
tentang konsekuensi akademik dan moral. Program serupa di Finlandia berhasil
meningkatkan kesadaran etika siswa sebesar 58% .
2. Teknologi untuk
Komunikasi Inklusif
Pattiasina et al. (2024)
merekomendasikan penggunaan aplikasi kolaboratif seperti Padlet atau Google
Jamboard untuk memfasilitasi diskusi nilai. Misalnya, guru bisa
membuat forum daring di mana siswa membahas isu sosial sambil mengaitkannya
dengan Pancasila. Di Jawa Tengah, proyek "Sekolah Digital
Berkarakter" meningkatkan partisipasi siswa sebesar 40% dalam
kegiatan sosial .
3. Kemitraan
Sekolah-Keluarga-Masyarakat
Berdasarkan Ramadhani et al.
(2024), kolaborasi tiga pihak ini penting untuk konsistensi nilai. Contoh:
Sekolah di Yogyakarta melibatkan orang tua dalam proyek "Jumat
Berbagi", di mana siswa dan keluarga bersama-sama menyusun paket
sembako untuk warga kurang mampu. Program ini meningkatkan empati siswa (d =
0.62, p < 0.01) .
4. Revisi Kebijakan
Pendidikan
- Kurikulum Holistik: Alokasikan 30% waktu
pembelajaran untuk proyek berbasis karakter (Ramadhani et al., 2024).
- Insentif Guru: Berikan tunjangan khusus bagi
guru yang aktif dalam pelatihan karakter (Darling-Hammond, 2017).
- Infrastruktur Teknologi: Distribusikan
platform pembelajaran digital ke daerah terpencil (Pattiasina et al.,
2024).
Guru Indonesia bukanlah Kaum
Sofis yang sengaja mengabaikan moralitas. Mereka adalah korban sistem yang
memaksa pragmatisme. Namun, dengan kolaborasi guru-keluarga-masyarakat—seperti
ditekankan Ramadhani et al. (2024)—dan pemanfaatan teknologi inklusif ala
Pattiasina et al. (2024), pendidikan karakter bisa menjadi nafas baru. Seperti
kata Socrates: "Pendidikan yang mengabaikan jiwa hanya akan
melahirkan generasi pandai berdebat, tetapi miskin hati nurani".
Daftar Pustaka
- Darling-Hammond, L. (2017). Teacher education
around the world: What can we learn from international practice? European
Journal of Teacher Education, 40(3), 291–309. https://doi.org/10.1080/02619768.2017.1315399
- Jeynes, W. H. (2019). A meta-analysis on the
relationship between character education and student achievement and
behavioral outcomes. Education and Urban Society, 51(1),
33–71. https://doi.org/10.1177/0013124517747681
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
(2023). Laporan Survei Beban Kerja Guru. Jakarta: Kemendikbud.
- Pattiasina, P. J., Lamaloang, L. K., & Santoso,
R. Y. (2024). The role of communication in creating inclusive and
collaborative learning environments. International Journal of
Social and Education (INJOSEDU), 1(3), 705-717.
- Ramadhani, T., Widiyanta, D., Sumayana, Y., Santoso, R. Y., & Agustin, P. D. (2024). The role of character education in forming ethical and responsible students. IJGIE (International Journal of Graduate of Islamic Education), 5(2), 110-124.
